17 Februari 2016

Ustadz Ahmad Sarwat: LGBT Operasi Ganti Kelamin, Haramkah?

A. Pengertian

Operasi ganti kelamin belum pernah ada di masa lalu, sehingga dalam literatur fiqih klasik, kita tidak menemukan istilah  khusus untuk masalah ini. Operasi ganti kelamin dalam literatur fiqih modern dalam bahasa Arab sering disebut dengan istilah amaliyah taghyirul jinsi (عملية تغيير الجنس)


Namun meski istilah yang digunakan adalah ganti atau ubah jenis kelamin, yang sebenarnya terjadi sama sekali tidak ada kaitannya dengan pengubahan jenis kelamin.

Sebab jenis kelamin itu tidak sama dengan alat kelamin, keduanya harus dibedakan terlebih dahulu. Kalau kita bicara jenis kelamin, maka yang dimaksud adalah organ reproduksi manusia. Sedangkan kalau kita bicara tentang alat kelamin, umumnya kita bicara tentang bentuk fisik alat kelamin atau organ genital, yang umumnya hanya sebatas penampilan luarnya saja.

Organ reproduksi yang ada pada manusia, baik jenis kelamin laki-laki atau pun perempuan adalah organ-organ yang merupakan bagian dari sistem yang teramat rumit. Oleh karena itu tidak bisa dimodifikasi atau diubah-ubah seenaknya.

Rumitnya seperti kerumitan mengubah jenis hewan. Sebagaimana kita tidak bisa mengubah monyet menjadi katak atau gajah menjadi semut, maka kita tidak bisa mengubah organ reproduksi laki-laki menjadi organ reproduksi perempuan, dan sebaliknya.

Yang lebih sering terjadi hanya operasi mengubah penampilan alat kelamin, itu pun hanya terbatas pada bagian luarnya saja. Sedangkan dari sisi fungsi dan cara bekerjanya nol besar.

Pengubahan jenis kelamin laki-laki menjadi perempuan umunya hanya berkisar dilakukannya dengan memotong penis dan testis, kemudian membentuk kelamin perempuan (vagina) dan membesarkan payudara.

Sedang pengubahan jenis kelamin perempuan menjadi laki-laki dilakukan dengan memotong payudara, menutup saluran kelamin perempuan, dan menanamkan organ genital laki-laki (penis). Operasi ini juga disertai pula dengan terapi psikologis dan terapi hormonal.

B. Fenomena Khuntsa

1. Hanya Laki-laki Atau Hanya Perempuan

Pada dasarnya Allah SWT hanya menciptakan manusia dengan salah satu dari dua jenis kelamin, yaitu laki-laki atau perempuan. Dan Allah SWT tidak menciptakan jenis kelamin ketiga.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاء

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. (QS. An-Nisa' ayat 1)

وَأَنَّهُ خَلَقَ الزَّوْجَيْنِ الذَّكَرَ وَالْأُنثَى 

Dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan pria dan wanita. (QS. An-Najm ayat 45)

وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالأُنثَى 

Dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan. (QS. Ali Imran ayat 36)

2. Dua Organ Sekaligus

Memang tidak bisa dipungkiri adanya orang tertentu yang terlahir dengan kondisi fisik yang khusus, yaitu punya dua organ reproduksi sekaligus, baik organ reproduksi laki-laki maupun organ reproduksi perempuan. Namun bukan berarti Allah SWT menciptakan jenis kelamin ketiga, yaitu kelamin setengah laki-laki dan setengah perempuan.

Kelahiran yang tidak biasanya ini hanyalah sebuah fenomena biasa yang sering terjadi pada banyak kelahiran, misalnya kelahiran bayi kembar siam, yang punya dua kepala tetapi hanya punya satu tubuh, dimana tulang belakang mereka hanya ada satu.

Dalam literatur fiqih, para ulama di masa lalu menyebut fenomena orang yang terlahir membawa dua organ reproduksi sekaligus ini dengan sebutan khuntsa.

Dalam masalah ini, Islam sejak awal dahulu telah memiliki sikap tersendiri berkaitan dengan status jenis kelamin orang ini. Sederhana saja, bila alat kelamin salah satu jenis itu lebih dominan, maka dia ditetapkan sebagai jenis kelamin tersebut. Artinya, bila organ kelamin laki-lakinya lebih dominan baik dari segi bentuk, ukuran, fungsi dan sebagainya, maka orang ini meski punya alat kelamin wanita, tetap dinyatakan sebagai pria.

Dan sebagai pria, berlaku padanya hukum-hukum sebagai pria. Antara lain mengenai batas aurat, mahram, nikah, wali, warisan dan seterusnya.

Dan sebaliknya, bila organ kelamin wanita yang lebih dominan, maka jelas dia adalah wanita, meski memiliki alat kelamin laki-laki. Dan pada dirinya berlaku hukum-hukum syairat sebagai wanita. Namun ada juga yang dari segi dominasinya berimbang, yang dalam literatur fiqih disebut dengan istilah khuntsa musykil (خُنْثَى مُشْكِل). Namanya saja sudah musykil, tentu merepotkan, karena kedua alat kelamin itu berfungsi sama baiknya dan sama dominannya.

Untuk kasus ini, dikembalikan kepada para ulama untuk melakukan penelitian lebih mendalam untuk menentuakan status kelaminnya. Namun kasus ini hampir tidak pernah ada. Bahkan khuntsa ghairu musykil pun hampir tidak pernah didapat.

C. Jenis Operasi Ganti Kelamin

Operasi ganti kelamin sebenarnya ada banyak jenis dan tujuannya, sehingga hukumnya tergantung dari jenis dan tujuannya.

1. Operasi Yang Halal

Sebagaimana sudah disinggung di atas, kadang atas kehendak Allah SWT, seseorang terlahir dalam keadaan memiliki alat reproduksi ganda, selain jenis wanita ternyata juga punya alat reproduksi laki-laki. Meski fenomena ini amat jarang terjadi, namun para ulama sudah membahasnya sejak masa lalu. Orang yang lahir dalam keadaan tidak pada umumnya ini sering disebut dengan istilah khuntsa (خنثى).

Kalau tujuan operasi ganti kelamin itu untuk menghilangkan salah alat kelamin yang tidak normal yang terdapat pada orang yang terlahir dengan dua alat kelamin sekaligus, maka umumnya para ulama sepakat membolehkannya. Jenis operasi ini bukan karena tidak puas dengan ciptaan Allah, melainkan sebuah operasi untuk kebaikan dan kebutuhan mendasar seseorang.

Perbandingannya sebagaimana operasi usus buntu, yang pada prinsipnya membuang bagian tertentu dari organ tubuh yang bermasalah, yang nyata-nyata mengganggu sistem kesehatan tubuh.

Maka dengan jenis dan tujuan seperti ini, operasi ganti kelamin itu membuang atau mengangkat alat kelamin yang tidak dominan, sehingga yang tersisa adalah alat kelamin yang dominan.

Operasi ini sering disebut dengan istilah itmamul jinsi (إتمام الجنس), yaitu menyempurnakan organ atau alat kelamin yang bermasalah. Dan hukumnya halal sebagaimana umumnya pendapat para ulama modern.

2. Operasi Yang Haram

Operasi jenis kelamin yang haram adalah operasi untuk mengubah alat kelamin normal yang ada pada tubuh manusia yang normal, dari bentuk alat kelamin laki-laki menjadi alat kelamin perempuan, atau sebaliknya.

Sebenarnya operasi ini pada dasarnya tidak pernah mengubah jenis kelamin. Yang dilakukan hanya mengubah bentuk saja, sedangkan fungsinya sebagai alat reproduksi nyaris sama sekali tidak mengalami perubahan apa pun.

Laki-laki yang diubah alat kelaminnya menjadi berbentuk alat kelamin perempuan, tetap tidak akan pernah bisa hamil sampai kapanpun. Karena yang diubah hanya bentuk penampilan luar saja, sedangkan organ reproduksi bagian dalam sama sekali tidak berubah. Dia tidak punya rahim, saluran indung telur, bahkan tidak memproduksi sel telur yang bisa dibuahi.

Kalau diibaratkan sama dengan mobil untuk karnaval. Pada dasarnya cuma mobil biasa, lalu dipermak sedemikian rupa sehingga penampilannya mirip pesawat terbang. Memang ada dua sayap, sirip dan ekor, tetapi semua tidak bisa berfungsi dan tetap saja tidak bisa terbang.

Kenapa?

Karena yang dilakukan hanya sebatas penampilan luar saja, dan kebutuhannya memang hanya untuk ikut karnaval saja. Sampai kapan pun yang namanya mobil tidak akan bisa terbang. Dan belum pernah ada ceritanya mobil bisa dimodifikasi lalu sampai bisa terbang.

D. Dalil Haramnya Operasi Kelamin

Para ulama yang sepakat mengharamkan operasi ganti kelamin yang jenis kedua ini mendasarkan pada dua larangan mendasar, yaitu larangan menyerupai lawan jenis dan larangan mengubah ciptaan Allah SWT.

1. Haram Menyerupai Lawan Jenis

Pada dasarnya Islam mengharamkan laki-laki untuk berpenampilan menjadi perempuan, sebagaimana juga perempuan diharamkan untuk berpenampilan menjadi laki-laki.

رَسُول اللَّهِ  الْمُتَشَبِّهِينَ مِنَ الرِّجَال بِالنِّسَاءِ وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَال

Rasulullah SAW melaknat para laki-laki yang menyerupai wanita dan para wanita yang menyerupai laki-laki. (HR. Bukhari)

Al-Mutasyabbih bi an-nisa’ bermakna laki-laki yang berpakaian, berdandan, bermake-up, bergaya, dan berpenampilan layaknya seorang perempuan, sehingga sekilas orang akan menyangka bahwa dirinya memang perempuan.

Sedangkan al-mutasyabihat bi ar-rijal adalah keadaan sebaliknya, yaitu wanita yang berpakaian, berdandan, bermake-up, bergaya, dan berpenampilan layaknya seorang laki-laki, sehingga sekilas orang akan menyangka bahwa dirinya memang laki-laki.

Bahkan laki-laki dan perempuan tetap berbeda dalam tata cara bersikap dan berbicara. Maka keharaman penyerupaan antara laki-laki dan perempuan juga termasuk ketiga seorang laki-laki meniru gaya perempuan, dan ketika perempuan meniru gaya laki-laki.

Jadi pada hakikatnya yang diharamkan bukan hanya terbatas pakaian saja, tetapi segala hal yang terkait dengan penampilan, baik tata rias, asesoris pakaian, termasuk juga gerak-gerik, bahasa tubuh dan termasuk operasi ganti kelamin.

Semua itu merupakan hal yang terlarang dengan sangat sehingga beliau SAW sampai harus melaknat pelaku-pelakunya. Dan suatu dosa bila sampai disebut dengan istilah laknat menunjukkan bahwa dosa itu sangat besar dan keluar dari rahmat Allah.

2. Mengubah Ciptaaan Allah

Allah SWT melarang kita untuk mengubah-ubah ciptaan-Nya, sebagaimana disebutkan di dalam kitab-Nya

وَلأُضِلَّنَّهُمْ وَلأُمَنِّيَنَّهُمْ وَلآمُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ آذَانَ الأَنْعَامِ وَلآمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللّهِ وَمَن يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِّن دُونِ اللّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُّبِينًا

Dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan akan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka (merubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka merobahnya". Barang siapa yang menjadikan setan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata. (QS. An-Nisa' ayat 119)

لعَن اللهُ الوَاشِمَاتِ والمُسْتَوْشِمَاتِ والنَّامِصاتِ والمُتَنَمِّصاتِ والمُتَفَلِّجَاتِ للحُسْنِ المُغيِّراتِ خَلْقَ اللهِ عز وجل

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu‘anhu berkata: “Allah melaknat perempuan-perempuan yang mentato dan yang minta ditato, yang mencukur rambut (alis), dan yang mengikir giginya untuk memperindah, yang mengubah ciptaan Allah SWT. (HR. Bukhari)

Pada dasarnya melakukan operasi yang mengubah-ubah bentuk tubuh manusia memang bisa dilakukan, apalagi mengingat teknologi dunia kedokteran, khususnya bedah plastik (surgery) sudah sedemikian maju.

Kalau operasi plastik itu bertujuan untuk memperbaiki bagian tubuh yang cacat, baik cacat bawaan ataupun cacat karena kecelakaan, maka umumnya para ulama sepakat atas kebolehannya. Meskipun prinsipnya seperti mengubah ciptaan Allah, namun pengubahan ini tidak termasuk yang diharamkan.

Pengubahan ciptaan Allah yang diharamkan adalah pengubahan dari bentuk normal pada umumnya, lalu untuk sekedar kepentingan penampilan, kemudian dicari-cari cara mengubahnya. Misalnya, operasi hidung biar tambah mancung, atau ganti warna kulit dan termasuk di dalamnya adalah operasi mengubah penampilan alat kelamin laki-laki menjadi seperti alat kelamin wanita dan sebaliknya.

Jadi yang merupakan titik keharaman berasal dari ketidak-puasan manusia atas keadaan dirinya, yang pada dasarnya normal dan lazim serta layak menurut ukuran normal manusia. Namun dengan sifat takabbur, riya' dan sum'ah serta ujub, ingin mendapatkan bentuk tubuh yang sedang ngetrend, agar tidak ketinggalan mode.

3. Haramnya Pengebirian

Ketika seorang laki-laki menjalani operasi ganti kelamin ini, maka mau tidak mau penisnya dipotong, demikian juga dengan testisnya. Dengan pemotongan ini maka untuk selamanya dia tidak akan pernah lagi bisa bereproduksi. Dan tindakan ini tidak lain adalah tindakan pengebirian yang pada dasarnya diharamkan dalam syariah.

Ada banyak hadits yang mengharamkan tindakan pengebirian pada manusia, di antaranya hadits dari Ibnu Mas'ud radhiyallahuanhu berikut ini :

كُنَّا نَغْزُو مَعَ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَيْسَ لَنَا شَيْءٌ ، فَقُلْنَا : أَلاَ نَسْتَخْصِي ؟ فَنَهَانَا عَنْ ذَلِكَ 

Ibnu Mas'ud radhiyallahuanhu berkata,"Kami dulu pernah berperang bersama Rasulullah sementara pada kami tidak ada isteri–isteri." Kami berkata,”Wahai Rasulullah bolehkah kami melakukan pengebirian?” Maka beliau melarang kami untuk melakukannya. (HR. Bukhari)

Selain itu juga ada hadits Sa'ad bin Abi Waqqash radhiyallahuanhu :

 رَدَّ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ التَّبَتُّل ، وَلَوْ أَذِنَ لَهُ لاَخْتَصَيْنَا

Rasulullah SAW melarang Usman bin Ma'dzhun untuk melakukan tabattul. Seandainya diizinkan pastilah kami melakukan kebiri. (HR. Bukhari)

Ustman bin Mazdhun sendiri memang pernah meminta izin kepada Rasulullah SAW untuk urusan pengebirian, lantaran di waktu perang tidak bisa menyalurkan hasrat seksual. Maka beliau pun minta izin seperti disebutkan dalam hadits berikut:

 يَا رَسُول اللَّهِ إِنِّي رَجُلٌ تَشُقُّ عَلَيَّ هَذِهِ الْعُزُوبَةُ فِي الْمَغَازِي فَتَأْذَنُ لِي فِي الْخِصَاءِ فَأَخْتَصِي ؟ قَال : لاَ ، وَلَكِنْ عَلَيْكَ بِالصِّيَامِ

"Ya Rasulullah SAW, saya ini tidak mampu menahan gairah seksual di saat perang, apakah anda mengizinkan saya melakukan kebiri?". Rasulullah SAW menjawab,"Tidak boleh, tetapi lakukan puasa saja." (HR. At-Thabrani)

Referensi:

Untuk pembahasan yang lebih mendalam, kita menemukan banyak referensi yang membahas masalah ini di antaranya adalah kitab-kitab berikut ini:

1. Kitab  Taghyīr Khalqillāh. Dr. Zarwati Rabih, Dar Ibn Hazm, Beirut, cet. pertama, 1428 H.

2. Ahkām al-Jirāhah al-Thibbiyyah. Dr. Muhammad bin Muhammad al-Mukhtar al-Syinqithi, Maktabah Shahabah, Emirat, cet. ketiga, 1424 H.

3. Al-Jirāhah al-Tajmīliyyah. Dr. Shalih bin Muhammad al-Fauzan. Dar Tadmuriyyah, KSA, cet. pertama, 1428 H.

4. Al-Ahkām al-Thibbiyyah al-Muta’alliqah Bi al-Nisā’. Dr. Muhammad Khalid Manshur. Dar Nafais. Yordania, cet kedua 1424 H.

Dan masih banyak lagi kitab serupa yang merupakan bagian dari fatwa-fatwa para ulama kontemporer.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Sumberhttp://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1361646554

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.