21 Februari 2016

Ustadz Ahmad Sarwat: Bolehkah Uang Zakat Untuk Membangun Masjid dan Membiayai Dakwah?

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,  Ada satu pertanyaan yang amat menarik dalam hal membangun masjid, yaitu apakah dibenarkan kita membangun masjid dengan dana yang sumbernya dari hasil pengumpulan zakat?



Bagaimana pendapat seperti mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah dalam hal ini? Mari kita kaji bersama pendapat jumhur ulama yang pada umumnya tidak membolehkan, lalu kita bandingkan dengan pendapat beberapa tokoh yang membolehkan.

A. Jumhur UIama: Tidak Boleh

Jumhur ulama termasuk di dalamnya empat mazhab yaitu mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah, termasuk yang cenderung kepada pendapat yang pertama (mudhayyiqin). Mereka mengatakan bahwa yang termasuk fi sabilillah adalah para peserta pertempuran fisik melawan musuh-musuh Allah dalam rangka menegakkan agama Islam.

1. Mazhab Al-Hanafiyah

Al-Quduri (w. 428 H) salah satu ulama dalam mazhab Al-Hanafiyah menuliskan dalam kitabnya Al-Mukhtashar sebagai berikut:

ولا يجوز أن يدفع الزكاة إلى ذمي ولا يبنى بها مسجد ولا يكفن بها ميت ولا يشترى بها رقبة تعتق

Tidak dibolehkan memberikan zakat kepada orang kafir zimmi, tidak boleh digunakan untuk membangun masjid, atau mengkafani mayit dan tidak boleh dibelikan budak untuk dibebaskan.[Al-Quduri, Mukhtashar Al-Quduri, jilid hal. 59]

Al-Kasani (w. 587 H) salah satu ulama besar dalam mazhab Al-Hanafiyah di dalam kitabnya Badai'u Ash-Shana-i' menyebutkan bahwa mustahiq zakat fi sabilillah terbatas pada tentara yang miskin, orang yang berhaji dan kehabisan perbekalan. Beliau menuliskan sebagai berikut:

وأما قوله تعالى: {وفي سبيل الله} [التوبة: 60] عبارة عن جميع القرب فيدخل فيه كل من سعى في طاعة الله وسبيل الخيرات إذا كان محتاجا وقال أبو يوسف المراد منه فقراء الغزاة؛ لأن سبيل الله إذا أطلق في عرف الشرع يراد به ذلك، وقال محمد: المراد منه الحاج المنقطع لما روي «أن رجلا جعل بعيرا له في سبيل الله فأمره النبي - صلى الله عليه وسلم - أن يحمل عليه الحاج» ، وقال الشافعي: يجوز دفع الزكاة إلى الغازي وإن كان غنيا.

Adapun firman Allah tentang fi sabilillah adalah segala bentuk taqarrub, sehingga masuk di dalamnya setiap orang yang beraktifitas ketaatan kepada Allah dan jalan kebaikan, apabila dia membutuhkan.

Abu Yusuf menyebutkan bahwa fi sabililah itu maksudnya adalah tentara yang miskin. Karena sabilillah dalam 'urf syariat maknanya memang perang.

Muhammad berkata bahwa yang dimaksud dengan sabilillah adalah orang yang berhaji dan kehabisan bekal, sebagaimana hadits: Seseorang telah berzakat dengan seekor unta, lalu Rasulullah SAW memerintahkan untuk dijadikan tunggangan orang berhaji.

Al-Imam Asy-Syafi'i berkata bahwa dibolehkan memberikan harta zakat buat orang yang berperang meskipun dia termasuk orang kaya. [Al-Kasani Badai'u Ash-Shana-i', jilid 2 hal. 45]

Kesimpulan dari ibarah para ulama di atas bahwa meski asnaf fi sabilillah itu bisa diluaskan, namun tidak ada satu pun yang menyebutkan tentang kebolehan zakat untuk membangun masjid.

Al-Marghinani (w. 593 H) menuliskan di dalam kitabnya Bidayatul Mubtadi sebagai berikut:

ولا يبني بها مسجد ولا يكفن بها ميت ولا يقضي بها دين ميت ولا تشترى بها رقبة تعتق

Harta zakat itu tidak boleh untuk membangun masjid, biaya memberli kafan buat mayit, atau melunasi hutangnya atau untuk membeli budak yang akan dibebaskan.[Al-Marghinani, Bidayatul Mubtadi, hal. 37]

Al-Babriti (w. 786 H) menuliskan dalam kitabnya, Al-Inayah Syarah Al-Hidayah sebagai berikut:

ولا يبنى بها مسجد ولا يكفن بها ميتلانعدام التمليك وهو الركن

Tidak diperkenankan membangun masjid dan mengkafani mayit dengan harta zakat, karena tidak adanya tamlik (kepemilikan). Sedangkan kepemilikan itu menjadi rukun dalam zakat.[Al-Babriti, Al-Inayah Syarah Al-Hidayah, jilid hal. 267-268]

2. Mazhab Al-Malikiyah

Al-Imam Malik (w. 179 H) di dalam kitab Al-Mudawwanah Al-Kubra yang disusun oleh Sahnun tegas menyebutkan masalah ini sebagai berikut:

وقال مالك: لا تجزئه أن يعطي من زكاته في كفن ميت لأن الصدقة إنما هي للفقراء والمساكين ومن سمى الله، فليست للأموات ولا لبنيان المساجد.

Al-Imam Malik berkata tidak diperkenankan bagi seseorang memberikan dari harta zakatnya untuk mengkafani mayit, karena sedekah (zakat) itu hanya untuk fuqara dan masakin serta mereka yang telah Allah sebutkan. Harta zakat tidak boleh untuk orang mati dan juga tidak boleh untuk bangunan masjid [Al-Imam Malik, Al-Mudawwanah Al-Kubra, jilid 1 hal. 346]

Ibnu Abdil Barr (w. 463 H) di dalam kitabnya Al-Istidzkar menuliskan masalah ini sebagai berikut:

وأجمعوا على أنه لا يؤدى من الزكاة دين ميت ولا يكفن منها ولا يبنى منها مسجد ولا يشترى منها مصحف ولا يعطى لذمي ولا مسلم غني

Para ulama telah berijma' atas tidak bolehnya zakat untuk membayar hutang mayit, biaya kafannya, serta untuk membangun masjid, membeli mushaf, juga tidak diberikan kepada kafir zimmi atau muslim yang kaya.[Ibnu Abdil Barr, Al-Istidzkar jilid 3 hal. 213]

4. Mazhab Al-Hanabilahah

Ibnu Qudamah (w. 620 H) di dalam kitab Al-Mughni menyebutkan secara tegas bahwa:

فصل: ولا يجوز صرف الزكاة إلى غير من ذكر الله تعالى، من بناء المساجد والقناطر والسقايات وإصلاح الطرقات، وسد البثوق، وتكفين الموتى والتوسعة على الأضياف، وأشباه ذلك من القرب التي لم يذكرها الله تعالى.

Pasal: Dan tidak boleh menyalurkan zakat untuk selain yang telah disebutkan Allah, seperti membangun masjid, jembatan, tempat minum, memperbaiki jalan, bendungan, mengkafani jenazah, memberi makan tamu, dan semua ibadah yang seumpama itu, selama tidak disebutkan Allah.[Ibnu Qudamah, Al-Muhgni jilid 3 hal. 213]

Kesepakatan keempat mazhab tentang fi sabilillah:

- Jihad secara pasti termasuk dalam ruang lingkup fi sabilillah.

- Disyariatkan menyerahkan zakat kepada pribadi seorang mujahid, berbeda dengan menyerahkan zakat untuk keperluan jihad dan persiapannya. Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan mereka.

- Tidak diperbolehkan menyerahkan zakat demi kepentingan kebaikan dan kemaslahatan bersama, seperti mendirikan dam, jembatan, masjid dan sekolah, memperbaiki jalan, mengurus mayat dan lain-lain. Biaya untuk urusan ini diserahkan pada kas baitul maal dari hasil pendapatan lain seperti harta fai, pajak, upeti, dlsb.

Mereka yang termasuk ke dalam pendapat ini adalah Jumhur Ulama. Dalilnya karena di zaman Rasulullah SAW memang bagian fi sabilillah tidak pernah digunakan untuk membangun masjid atau madrasah. Di zaman itu hanya untuk mereka yang jihad secara fisik saja.

Jumhur ulama ini mengatakan bahwa para mujahidin di medan tempur mereka berhak menerima dana zakat, meskipun secara materi mereka cukup berada. Sebab dalam hal ini memang bukan sisi kemiskinannya yang dijadikan objek zakat, melainkan apa yang dikerjakan oleh para mujahidin itu merupakan mashlahat umum.

Adapun para tentara yang sudah berada di dalam kesatuan, di mana mereka sudah mendapatkan gaji tetap dari kesatuannya, tidak termasuk di dalam kelompok penerima zakat.

Namun seorang peserta perang yang kaya, tidaklah berperang dengan menggunakan harta yang wajib dizakati dari kekayaannya. Sebagai seorang yang kaya, bila kekayaannya itu mewajibakan zakat, wajiblah atasnya mengeluarkan harta zakat dan menyerahkannya kepada amil zakat.

Adapun bila kemudian dia ikut perang, dia berhak mendapatkan harta dari amil zakat karena ikut sertanya dalam peperangan. Tapi tidak boleh langsung di-bypass. Dia harus bayar zakat dulu baru kemudian menerima dana zakat.

Namun Abu Hanifah mengatakan bahwa seorang kaya yang ikut serta dalam peperangan, maka dia tidak berhak menerima dana dari harta zakat.

B. Pendapat Yang Membolehkan

Sedangkan para ulama yang lain cenderung meluaskan makna fi sabilillah, tidak hanya terbatas pada peserta perang fisik, tetapi juga untuk berbagai kepentingan dakwah yang lain.

Di antara tokoh yang mendukung pendapat ini adalah Dr. Yusuf Al-Qaradawi telah membuka pintu ijtihadnya sendiri dan juga buat orang lain untuk meluas-luaskan pengertian fi sabilillah. Setidaknya beliau itulah yang dikenal sebagai tokoh yang sering meluas-luaskan pengertian fi sabilillah menjadi semua hal yang baik dan bermanfaat buat dakwah.

Para pengikut 'mazhab' Al-Qaradawi ternyata cukup banyak di Indonesia. Setidaknya, kitab Fiqih Zakat karya beliau selalu dijadikan rujukan oleh hampir semua lembaga amil zakat di Indonesia. Boleh kita katakan beliau adalah lokomotif dari gerbong-gerbong perluasan hukum zakat di Indonesia, bahkan di banyak negeri luar sana.

Dalam disertasinya yang tertuang dalam kitab Fiqih Zakat, beliau memang awalnya menyebutkan sekilas saja pendapat ulama empat mazhab yang sebenarnya justru melarang perluasan makna fi sabilillah. Intinya, seluruh ulama dari empat mazhab sepakat bahwa penyaluran zakat hanya untuk perang secara fisik atau haji. Di luar itu tidak boleh diluas-luaskan seenaknya.

Namun karena Al-Qaradawi punya keinginan untuk meluas-luaskan makna 'fi sabilillah', maka setelah menguraikan fatwa empat mazhab yang muktamad, beliau jelas sekali ingin meninggalkan ulama empat mazhab dan membangun ijtihadnya sendiri. Untuk itu beliau mencari tokoh-tokoh yang sekiranya membolehkan harta zakat digunakan untuk hal-hal di luar jihad dan perang.

Oleh Al-Qaradawi kita diperkenalkan beberapa tokoh yang dianggapnya mendukung pendapatnya, antara lain:

1. Imam Ar-Razi

Beliau mulai argumentasinya dengan menyebut nama Ar-Razi (w. 606 H), seorang mufassir abad ketujuh hijriyah. Dalam Tafsir Mafatih Al-Ghaib ketika menyebutkan asnaf fi sabilillah, Ar-Razi menuliskan sebagai berikut:

فلهذا المعنى نقل القفال في «تفسيره» عن بعض الفقهاء أنهم أجازوا صرف الصدقات إلى جميع وجوه الخير من تكفين الموتى وبناء الحصون وعمارة المساجد، لأن قوله: وفي سبيل الله عام في الكل

Dengan pengertian ini, Al-Qaffal menukil dalam Tafsirnya pendapat dari sebagian fuqaha bahwa mereka membolehkan untuk menyalurkan zakat pada semua bentuk kebaikan, seperti mengkafani mayit, membangun benteng dan membangun masjid. Sebab kata fi sabilillah itu umum terkait segala sesuatu.[Al-Imam Ar-Razi, Tafsir Al-Fakhru Ar-Razi, jilid 16 hal. 113]

Dalam hal ini Al-Qaradawi agak jujur ketika menyebutkan bahwa 'sebagian fuqaha' yang dinukil oleh Al-Qaffal itu tidak jelas siapa mereka. Seharusnya ini justru jadi pertanyaan baru, mengapa kita menyandarkan sebuah fatwa kepada orang-orang yang tidak jelas jati dirinya.

Namun ternyata dalam hal ini Al-Qaradawi malah mengajak para pembacanya untuk 'berhuznudzhdzhan' saja dan tidak usah meributkan siapa mereka. Menurutnya, kalau disebut 'fuqaha' pastilah mereka itu mujtahid. Titik.

2. Anas bin Malik dan Al-Hasan Al-Basri?

Nampaknya usaha Al-Qaradawi untuk mencari pegangan atas pendapatnya dari kalangan salaf belum usai. Beliau kemudian menukil perkataaan Ibnu Qudamah (w. 676 H) di dalam kitabnya Al-Mughni, bahwa konon Anas bin Malik radhiyallahuanhu dan Al-Hasan Al-Basri berfatwa atas kebolehan zakat untuk membangun jembatan dan jalanan.

مَا أَعْطَيْت فِي الْجُسُورِ وَالطُّرُقِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مَاضِيَةٌ

Harta yang kamu keluarkan untuk membangun jembatan dan jalanan termasuk sedekah. [Ibnu Qudamah, Al-Mughni, jilid 2 hal. 213]

Yang menarik, lafadz Ibnu Qudamah yang dinukil oleh Al-Qaradawi ini terletak setelah kalimat Ibnu Qudamah yang menolak kebolehan harta zakat untuk pembangunan ini dan itu. Sayangnya Al-Qaradawi sama sekali malah tidak menukilnya, terkesan malah menyembunyikannya. Teks dari Ibnu Qudamah itu sebagai berikut:

فصل: ولا يجوز صرف الزكاة إلى غير من ذكر الله تعالى، من بناء المساجد والقناطر والسقايات وإصلاح الطرقات، وسد البثوق، وتكفين الموتى والتوسعة على الأضياف، وأشباه ذلك من القرب التي لم يذكرها الله تعالى.

Pasal: Dan tidak boleh menyalurkan zakat untuk selain yang telah disebutkan Allah, seperti membangun masjid, jembatan, tempat minum, memperbaiki jalan, bendungan, mengkafani jenazah, memberi makan tamu, dan semua ibadah yang seumpama itu, selama tidak disebutkan Allah.

3. Syiah Imamiyah Ja'fariyah

Menjadi lebih menarik lagi, ternyata Al-Qaradawi juga menukil pendapat kalangan syiah dalam kitabnya, yaitu mazhab Imamiyah Ja'fariyah. Kebetulan pendapat itu memang mendukung pendapat Al-Qaradawi untuk membolehkan kita meluas-luaskan makna fi sabilillah. Najmuddin Ja'far bin Al-Hasan (w. 676 H) menuliskan dalam kitab Mukhtashar An-Nafi' dituliskan sebagai berikut:

وفي سبيل الله : وهو ما كان قربة أو مصلحة كالحج والجهاد وبناء القناطر

Dan fi sabilillah adalah semua bentuk ibadah atau maslahah, seperti haji, jihad dan pembangunan jembatan. [Najmuddin Ja'far bin Al-Hasan, Mukhtashar An-Nafi', hal. 59]

4. Syiah Zaidiyah

Al-Qaradhawi juga menuliskan fatwa dari kalangan syiah Zaidiyah. Disebutkan bahwa Imam Zaid dalam kitab Ar-Raudh An-Nadhir berfatwa sebagai berikut :

أن الزكاة لا يعطى منها في كفن الميت ولا بناء مسجد. قال: وذهب من أجاز ذلك إلى الاستدلال بدخولها في صنف "سبيل الله"، إذ هو طريق الخير على العموم، وإن كثر استعماله في فرد من مدلولاته. وهو الجهاد، لكثرة عروضه في أول الإسلام - كما في نظائره - لكن لا إلى حد الحقيقة العرفية، فهو باق على الوضع الأول، فيدخل فيه جميع أنواع القرب، على ما يقتضيه النظر في المصالح العامة والخاصة

Zakat itu tidak diberikan untuk mengkafani mayit atau membangun masjid. Namun sebagian mereka yang membolehkannya berdalil bahwa semua itu termasuk sabilillah. Karena merupakan jalan kebaikan secara umum. Meskipun lebih banyak digunakan untuk jihad karena sangat dibutuhkan di awal periode Islam. Namun dana untuk jihad bukan merupakan hakikat urfiyah, maka kembali kepada realitas awalnya. Maka semua bentuk taqarrub masuk ke dalamnya, sebagaimana yang dipandang untuk kemaslahatan umum.[Imam Zaid, Ar-Raudh An-Nadhir, jilid 2 hal. 428]

Pendapat yang meluas-luaskan makna fi sabilillah memang sulit didapat dari kalangan salaf, kecuali di sebagian kalangan syiah. Untuk itu maka Al-Qaradawi kemudian meloncat ke fatwa-fatwa di masa khalaf berikutnya, yaitu fatwa ulama abad 14 dan 15 hijriyah. Di antaranya Shadiq Hassan Khan, Ar-Razi, Syeikh Syaltut, Syeikh Muhammad Rasyid Ridha dan Dr. Muhammad ‘Abdul Qadir Abu Faris.

5. As-Sayyid Muhammad Shadiq Khan

As-Sayyid Muhammad Shadiq Hasan Khan (w. 1307 H) penulis kitab Ar-Raudh An-Nadiyah Syarah Ad-Durar Al-Bahiyah menuliskan sebagai berikut:

 ومن جملة سبيل الله الصرف في العلماء الذين يقومون بمصالح المسلمين الدينية فإن لهم في مال الله نصيبا سواء كانوا أغنياء أو فقراء بل الصرف في هذه الجهة من أهم الأمور لأن العلماء ورثة الأنبياء وحملة الدين وبهم تحفظ بيضة الإسلام وشريعة سيد الأنام

Dan termasuk 'sabilillah' adalah menmberikan harta zakat kepada para ulama yang bekerja untuk kepentingan umat Islam secara agama. Mereka berhak menerima bagian dari harta Allah, baik mereka kaya atau miskin. Bahkan penyaluran kepada mereka termasuk masalah yang amat penting, karena ulama menjadi ahli waris para nabi, pemanggul agama, dan atas jasa mereka terjaga kesucian Islam dan syariatnya. [Muhammad Shadiq Hasan Khan, Ar-Raudh An-Nadiyah Syarah Ad-Durar Al-Bahiyah, jilid 1hal. 206]

6. Syeikh Rasyid Ridha

Pendukung perluasan makna fi sabilillah di masa modern di antaranya Muhammad Rasyid Ridha (w. 1354 H). Beliau menuliskan dalam kitab tafsirnya Al-Manar sebagai berikut:

ومن أهم ما يُنفق في سبيل الله في زماننا هذا إعداد الدعاة إلى الإسلام، وإرسالهم إلى بلاد الكفار من قبل جمعيات منظمة تمدهم بالمال الكافي كما يفعله الكفار في تبشير دينهم)

Yang termasuk penting untuk dibiayai dengan sumber sabilillah di zaman kita dewasa ini adalah biaya menyiapkan juru dakwah Islam untuk dikirim ke negeri-negeri kafir, lewat yayasan dan institusinya. Membantu mereka dengan finansial yang cukup sebagaimana orang kafir melakukannya dalam menyebarkan agama mereka. [Muhammad Rasyid Ridha, Al-Manar, jilid 10 hal. 587]

7. Syeikh Mahmud Syaltut

Syeikh Mahmud Syaltut (w. 1383 H) termasuk ke dalam barisan tokoh pendukung perluasan makna sabilillah. Di dalam kitabnya Al-Islamu Aqidatan wa Syariatan beliau menuliskan tentang cakupan makna 'fi sabillah' sebagai berikut:

المصالح العامة التي لا ملك فيها لأحد، والتي لا يختص بالانتفاع بها أحد، فملكها لله، ومنفعتها لخلق الله، وأولاها وأحقها: التكوين الحربي الذي ترد به الأمة البغي، وتحفظ الكرامة، ويشمل العدد والعُدَّة على أحدث المخترعات البشرية، ويشمل المستشفيات عسكرية ومدنية، ويشمل تعبيد الطرق، ومد الخطوط الحديدية، وغير ذلك، مما يعرفه أهل الحرب والميدان. ويشمل الإعداد القوي الناضج لدعاة إسلاميين يُظهرون جمال الإسلام وسماحته، ويفسرون حكمته، ويبلغون أحكامه

Semua masalahat umum yang tidak dimiliki perorangan, dan tidak dikhususkan untuk dimanfaatkan untuk perorangan. Pemiliknya Allah dan manfaatnya untuk makhluk Allah. Dan yang paling berhak untuk angkatan perang yang menolak umat baghyi, menjaga kemuliaannya, termasuk tentara dan perlengkapannya dengan kecanggihan modern. Termasuk juga untuk rumah sakit militer dan sipil, menambah ruas jalan, rel kereta api dan lainnya yang dipahami oleh ahli perang dan medannya. Termasuk juga untuk menguatkan para juru dakwah Islam yang membela kehebatan Islam dan toleransinya, menjelaskan hikmah-hikmahnya, menyampaikan hukum-hukumnya. [Syeikh Mahmud Syaltut, Al-Islamu Aqidatan wa Syariatan, hal. 97-98]

3. Dr. Yusuf Al-Qaradawi

Dalam kitab Fiqhuz Zakah, Dr. Yusuf Al-Qaradawi menyebutkan bahwa pendapat yang dianggap kuat adalah bahwa tidak layak membuat makna fi sabilillah menjadi terlalu umum. Karena dengan begitu, keumuman ini akan meluas tanpa batas dan aspek-aspeknya akan menjadi banyak sekali.

Dan orang-orang yang akan menerima zakat lewat jalur fi sabilillah akan sangat beragam, bila tidak diberi batasan yang pasti. Kalau makna fi sabilillah dibuat menjadi sangat luas, maka akan meniadakan pengkhususan sasaran zakat delapan. Buat apa Allah SWT menyebutkan khusus asnaf fi sabilillah kalau ternyata maksudnya bisa siapa saja asal berbau jalan dakwah?

Al-Quran yang sempurna dan mu'jiz pasti terhindar dari pengulangan yang tidak ada faedahnya. karenanya pasti yang dimaksud disini adalah makna yang khusus, yang membedakannya dari sasaran-sasaran lain.

Makna yang khusus ini tiada lain adalah jihad, yaitu jihad untuk membela dan menegakkan kalimat Islam di muka bumi ini. Setiap jihad yang dimaksudkan untuk menegakkan kalimat Allah termasuk sabilillah, bagaimanapun keadaan dan bentuk jihad serta senjatanya.

Yusuf Al-Qaradhawi memperluas arti fi sabilillah ini tidak hanya terbatas pada peperangan dan pertempuran fisik dengan senjata saja, namun termasuk juga segala bentuk peperangan yang menggunakan akal dan hati dalam membela dan mempertahankan aqidah Islam.

Karena itu mendirikan sekolah berdasarkan faktor tertentu adalah perbuatan shaleh dan kesungguhan yang patut disyukuri dan sangat dianjurkan oleh Islam, akan tetapi ia tidak dimasukkan dalam ruang lingkup fi sabilillah.

Mengapa?

Karena belum tentu sekolah itu mengandung misi dakwah dan menegakkan kalimat Allah di dalam kurikulumnya secara langsung.

Namun demikian, apabila ada suatu negara dimana pendidikan Islam merupakan masalah utama, dan yayasan pendidikan telah dikuasai kaum kapitalis, komunis, atheis ataupun sekularis, maka jihad yang paling utama adalah mendirikan madrasah yang yang mengajarkan ilmu-ilmu keislaman yang murni, dimana sekolah itu khusus mendidik anak-anak kaum muslimin menjadi pejuang yang menegakkan syariat Islam.

Madrasah itu juga punya misi memelihara generasi muslim dari kehancuran ideologi dan akhlaq, serta menjaganya dari racun-racun yang ditiupkan melalui kurikulum dan buku-buku, pada otak-otak pengajar dan ruh masyarakat yang disahkan di sekolah-sekolah pendidikan secara keseluruhan.

Sebaliknya, menurut Al-Qaradawi, tidak semua peperangan termasuk kategori fi sabilillah. Tidak termasuk fi sabilillah perang yang tujuannya bukan semata-mata ingin menegakkan syariat Allah atau membela agama Allah. Seperti halnya perang yang sekedar membela kesukuan, kebangsaan, kepentingan organisasi, partai politik tertentu atau membela kedudukan para politisi 'muslim, agar bisa naik ke puncak kekuasaan atau tetap duduk di kursi jabatannya.

Maka untuk itu Dr. Yusuf Al-Qaradawi menyebutkan contoh bentuk jihad non fisik yang bisa dilakukan, antara lain:

a. Marakiz Islamiyah di Negeri Non Islam

Membangun pusat-pusat dakwah (al-marakiz al-islamiyah) yang menunjang program dakwah Islam di wilayah minoritas, dan menyampaikan risalah Islam kepada non muslim di berbagai benua merupakan jihad fi sabilillah.

b. Marakiz Islamiyah di Negeri Islam

Membangun pusat-pusat dakwah di negeri Islam sendiri yang membimbing para pemuda Islam kepada ajaran Islam yang benar serta melindungi mereka dari pengaruh ateisme, kerancuan fikrah, penyelewengan akhlaq serta menyiapkan mereka untuk menjadi pembela Islam dan melawan para musuh Islam adalah jihad fi sabilillah.

c. Menerbitkan Buku dan Tulisan

Menerbitkan tulisan tentang Islam untuk mengantisipasi tulisan yang menyerang Islam, atau menyebarkan tulisan yang bisa menjawab kebohongan para penipu dan keraguan yang disuntikkan musuh Islam, serta mengajarkan agama Islam kepada para pemeluknya adalah jihad fi sabilillah.

d. Kafalah Da’iyah

Membantu para da'i muslim yang menghadapi kekuatan yang memusuhi Islam di mana kekuatan itu dibantu oleh para thaghut dan orang-orang murtad, adalah jihad fi sabilillah.

e. Membangun Madrasah

Termasuk di antaranya untuk biaya pendidikan sekolah Islam yang akan melahirkan para pembela Islam dan generasi Islam yang baik atau biaya pendidikan seorang calon kader dakwah atau da’i yang akan diprintasikan hidupnya untuk berjuang di jalan Allah melalui ilmunya adalah jihad fi sabilillah.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc., MA

Sumber: http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1358083618

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.